Minggu, 03 April 2011

BERKREASI DALAM BERORGANISASI


Sudah tidak asing lagi ditelinga kita, terlebih bagi para mahasiswa ketika mendengar kata “organisasi”. Dimana-mana dapat kita jumpai organisasi. Organisasi bukanlah sesuatu yang dapat dilihat secara kasat mata. Akan tetapi dapat dirasakan apabila kita terjun langsung dan mengikuti seluk beluknya.
Banyak pakar yang telah membahas makna organisasi. Secara bahasa, organisasi berasal dari kata organ yang mendapat imbuhan –isasi, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penyusunan dan pengaturan bagian-bagian hingga menjadi suatu kesatuan, atau susunan aturan dari berbagai bagian sehingga merupakan kesatuan yang teratur.[1] Organisasi bisa juga diperspektifkan sebagai suatu bagian yang di dalamnya terdapat peraturan yang mengikat sehingga terbentuknya kesepakatan yang menyatukan untuk tercapainya sesuatu yang dicita-citakan.
Organisasi dapat kita klasifikasikan menjadi organisasi laba dan nirlaba. Organisasi yang tujuannya untuk mencari atau mendapatkan suatu keuntungan berupa hal yang bersifat materi dapat dikatakan sebagai organisasi laba, sedangkan yang tidak bertujuan mendapatkan keuntungan materi disebut sebagai organisasi nirlaba. Akan tetapi yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini bukan yang berkaitan dengan ada tidaknya laba yang diperoleh, melainkan hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana caranya suatu organisasi itu dijalankan dengan menggunakan cara-cara yang jitu sehingga seseorang akan dapat berkreasi dan merasa senang berada didalamnya.
Kreasi kalau kita fahami dari segi bahasa, berarti karya, daya atau ciptaan. Berkreasi berarti memiliki sifat kreatif, yakni mempunyai kemampuan untuk dapat mencipta atau berkarya. Sehingga dapat disimpulkan dari judul diatas yaitu mengembangkan sumber daya manusia dengan menjadikan individu yang memiliki kemampuan berkreatifitas di dalam berorganisasi.
Bagaimana caranya supaya seseorang memiliki daya kreatifitas di dalam menjalankan roda organisasi?
Pertanyaan di atas merupakan suatu pertanyaan yang sangat essensial dalam pembicaraan kali ini. Untuk dapat memiliki daya kreatifitas di dalam berorganisasi, seseorang terlebih dahulu harus memiliki 4 S dasar, yaitu senang, spirit, sosial, dan setia.
  1. Senang.
Dalam berorganisasi, hal pertama yang harus dimiliki oleh seseorang adalah rasa senang terlebih dahulu. Kalau rasa senang itu telah ada, seseorang akan mau melakukan apapun selama dia menyenangi atau menyukainya. Dan kalau seseorang sudah senang terhadap sesuatu, pekerjaan pun akan terasa lebih mudah dan enjoy sehingga output yang hasilkan akan baik.
  1. Spirit.
Hal kedua yang harus dimiliki adalah spirit. Spirit adalah suatu sifat semangat yang ada dalam jiwa. Ini yang sangat dibutuhkan, karena untuk dapat melakukan sesuatu kalau tidak dibarengi dengan spirit, maka hasilnya pun tidak akan maksimal. Selain itu, sprit dapat memotifasi kita untuk dapat melakukan hal yang lebih dari yang ditargetkan.
  1. Sosial
Modal yang tidak kalah pentingnya untuk dapat berkreasi dalam berorganisasi  adalah memiliki jiwa sosial. Jiwa sosial sangat dibutuhkan dalam berorganisasi, karena organisasi terdiri dari suatu kesatuan dari berbagai elemen yang berbeda. Sehingga untuk dapat merekatkan hubungan antar elemen tersebut, dibutuhkan jiwa sosial yang tinggi. Orang yang memiliki jiwa sosial yang tinggi senantiasa akan disenangi oleh banyak orang dan hal ini akan berimplikasi pada kreasi yang akan diterapkannya dalam berorganisasi. Karena suatu tindakan atau kreasi kalau tidak ada dukungan dari pihak luar, maka akan berjalan terhambat.
  1. Setia
Hal terakhir yang harus dimiliki oleh seseorang untuk berkreasi dalam berorganisasi adalah memiliki rasa setia atau loyal terhadap organisasinya. Ini sangat penting karena suatu organisasi yang apabila sumber daya manusia yang ada di dalamnya tidak setia, maka organisasi itu akan menjadi kacau balau. Rasa setia atau loyalitas itu dapat timbul setelah seseorang mengetahui, memahami dan merasakan manfaat dari organisasi yang ditekuninya. Rasa setia ini juga belum cukup apabila dimiliki oleh seseorang atau dua orang dalam berorganisasi, melainkan seluruh elemen yang ada di dalamnya, sehingga satu sama lain akan saling men-support.
Tidak hanya itu, agar output yang dihasilkan mencapai titik yang maksimal, dibutuhkan juga strategi-strategi dalam berorganisasi. Strategi tersebut dapat dicapai dengan kreatifitas subjek yang bersangkutan. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap organisasi-organisasi yang berada di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta secara observasi, menemukan suatu kesimpulan bahwa organisasi bisa hancur kalau tidak di-manage dengan baik dan tidak melakukan strategi dalam pencapaian targetnya. Menurut data observasi yang telah dilakukan, kebanyakan organisasi tersebut meniru hal yang sama dengan organisasi yang berdiri lebih dulu darinya, sehingga pencapaian target pun tidak maksimal.
Kembali pada pembahasan mengenai berkreasi, penulis membuat suatu kesimpulan dari data observasi yang telah dilakukan selama 3 tahun, bahwa selama ini seseorang yang mendapat tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan suatu kegiatan, mereka merasa banyak kesulitan. Hal ini bisa disebabkan banyak faktor, diantaranya dia tidak mengetahui job descripsinya, sehingga dia bingung apa yang seharusnya dilakukan. Selain itu, bisa juga karena metode yang digunakan untuk merealisasikan kegiatan yang ditugaskan kepadanya, bersifat monoton. Sehingga akan lebih cepat membuat seseorang menjadi bosan dan jenuh. Atau bisa juga terjadi apabila dia tidak bisa mensinergikan elemen-elemen atau sumber daya manusia yang ada di dalamnya.
Seseorang yang sudah bisa menerapkan kreatifitasnnya dalam berorganisasi, akan melaksanakan suatu pekerjaan dengan sangat mudah. Walaupun sederet rintangan dan kesulitan yang dihadapi sangat beragam, seperti dalam masalah finansial dan lain sebagainya. Karena seorang yang kreatif, akan selalu berfikir positif dalam menghadapi sesuatu dan akan selalu berusaha mencari jalan keluarnya.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia

Jumat, 01 April 2011

Meredam Amarah


Oleh: Muhammad Gufron Hidayat

“Barangsiapa yang menghilangkan kemarahannya, Allah SWT akan menghilangkan siksa-Nya padanya.” (HR. Thabrani)

Dalam kitab Aafaatun ‘Alath-Thariq karya Sayyid Muhammad Nuh marah bermakna tidak rela terhadap sesuatu dan iri dari sesuatu. Bila ditelisik dari segi psikologis, marah dapat dimaknai keadaan jiwa yang menampakan diri dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh. Ketika marah, hati dan fikiran tertutup. Tindakan yang dilakukan tidak didasari pada akal fikiran yang sehat, kata-kata yang terlontar pun tidak terkendali.  
Dalam menjalani kehidupan, berbagai persoalan acapkali menghampiri. Harapan kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Jika keadaan ini tidak diterima dengan lapang, maka amarah lah yang muncul. Berbagai peristiwa penyiksaan kerapkali muncul lantaran amarah. Lah pun demikian, peristiwa pembunuhan seringkali disebabkan karena si pelaku dalam keadaan marah. Bukankah marah sangat berbahaya?
Jauh-jauh hari Rasulullah SAW mengingatkan,
“Neraka jahanam itu memiliki satu pintu yang tidak dapat dilalui kecuali oleh orang yang sering melampiaskan amarahnya.” (HR. Abu Dunya, Bazzar dan Baihaqi)
Begitu dalam ajaran Islam mengingatkan umatnya agar mampu meredam amarah. Dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah dan Siti Aisyah r.a sedang duduk bersama, lalu datanglah seorang yahudi mengucapkan Assaamu’alaikum (kecelakaan bagi kamu) dengan maksud ingin mengusik Rasulullah. Seketika Siti Aisyah menjawab Wa’alaikumussaam (kalianlah yang celaka). Mendengar jawaban itu Rasulullah menegur, “cukuplah mengucapkan Wa’alaikum (juga atas kalian) dan itu sudah cukup”.     
Imam al-Ghazali mengingatkan kiat untuk mengendalikan amarah yaitu dengan memahami keutamaan mengendalikan amarah, memaafkan, sikap lemah lembut dan tegar dengan mengharap ridho dan balasan baik dari Allah SWT. Sejalan dengan itu, sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk berwudu ketika amarah memuncak selayaknya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
“Apabila salah seorang kamu marah, hendaklah ia segera berwudhu dengan  air dingin, karena marah itu bersumber dari api.” (HR. Abu Daud)   
Semoga kita bisa mengamalkan nasihatnya agar tercipta kehidupan indah penuh kasih sayang. Wallahu a’lam. 
              

Sederhana Dalam Berinfak



Oleh: Muhammad Gufron Hidayat

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29).
Ada dua hal yang perlu dikaji dari ayat di atas. Pertama, penggalan ayat yang menegaskan bahwa dalam memberi, manusia hendaknya tidak kikir mengurangi infak yang sewajarnya dikeluarkan (iqtaar). Kedua, penggalan ayat yang menjelaskan bahwa dalam berinfak dilarang berlebih-lebihan (israaf).
Ada beberapa pendapat mengenai ayat ini, Ibrahim dan Abu Abdullah al-Makhzumi al-Makki berpendapat bahwa israaf adalah melampaui ambang batas sewajarnya, sementara iqtaar adalah mengurangi dari bagian yang semestinya dipenuhi.
Al-Raghib al-Asfahani berpendapat, bahwa infak terbagi menjadi dua macam, infak mamduuh dan madzmuum. Mamduh adalah infak yang mendorong seseorang untuk berlaku adil atau infak yang wajar, contoh memberi nafkah untuk keluarga yang dengannya ia mendapat pahala. Sedangkan madzmuum terbagi menjadi dua yaitu menghambur-hamburkan harta secara berlebihan dan membelanjakannya kurang dari batas minimal, bahkan cendrung menahannya untuk diri sendiri.
Sementara itu Abu Ja’far menegaskan bahwa israaf pada konteks infak yaitu melampaui kadar yang dibolehkan Allah, dan iqtaar yaitu mengurangi dari jatah yang telah ditetapkan-Nya. Beliau juga menegaskan untuk bersikap sederhana yaitu berada di antara dua kondisi itu. 
Islam sangat menganjurkan untuk berinfak tetapi dengan efisien, proporsional dan seimbang. Tidak mengeluarkannya secara berlebihan, melebihi kebutuhan si penerima sehingga sang pemberi menyesal di kemudian hari, atau kikir menumpuk harta  untuk kebutuhan dirinya sendiri. Islam memberikan konsep keadilan, tidak boros tetapi juga tidak pelit. 

Allah SWT berfirman,
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).
Ayat itu mengisaratkan bahwa dalam berinfak kita hendaknya bersikap tawassuth (sederhana), tidak boros tetapi juga tidak kikir. Berlebih-lebihan berpotensi merusak jiwa, harta dan lingkungan sekitar, sedangkan bersifat kikir berarti tidak mengoptimalkan penggunaan harta, baik bagi kebutuhan pribadi atau lingkungan masyarakat. Wallahu a’lam.

TENTANG PENULIS
MUHAMMAD GUFRON HIDAYAT, Penggiat Kajian Keagamaan. Tinggal di Jakarta. Phone 085780110374. No. rek. 9009774599 Muamalat Cabang Buah Batu, Bandung a.n. Muhammad Gufron Hidayat.
E-mail cibaymarkaz@yahoo.com.